Sunday, October 28, 2012

GPRS, EDGE, UMTS, HSDPA???


Apakah GPRS, EDGE, UMTS, HSDPA itu? Image
ketika kite pengen nge internetan pake modem apapun, pasti kita pernah melihat berbagai sinyal seperti GPRS, EDGE, UMTS, HSDPA. Tahukah sobat apa yang dimaksud dari istilah istilah teersebut?.
Semakin majunya teknologi menuntut untuk terus diadakannya pembaharuan, berikut juga di bidang akses data. GPRS adalah...

generasi pertamanya disusul dengan Edge dengan memberikan layanan agak cepat lalu 3G dengan menghadirkan layanan tercepat dan akhirnya teknologi sekarang 3.5G menyingkirkan semua dengan menghadirkan layanan sangat cepat untuk mengakses data, dan mungkin akan hadir layanan 4G.






Berikut Perbedaan Akses Data GPRS > EDGE > 3G/UMTS > 3.5G/HSDPA :
  • GPRS (General Packet Radio Service) : suatu teknologi yang digunakan untuk pengiriman dan penerimaan paket data. GPRS sering disebut dengan teknologi 2G. Fasilitas yang diberikan oleh GPRS : e-mail, mms (pesan gambar), browsinginternet. Secara teori GPRS memberikan kecepatan akses antara 56kbps sampai 115kbps.
  • EDGE (Enhanced Data for Global Evolution) : teknologi perkembangan dari GSM, rata-rata memiliki kecepatan 3kali dari kecepatan GPRS. Kecepatan akses EDGE secara teori sekitar 384kbps. Fasilitas yang disediakan EDGE sama seperti GPRS (e-mail, mms, dan browsing).
  • UMTS (Universal Mobile Telecommunication Service) : perkembangan selanjutnya dari EDGE. UMTS sering disebut generasi ke tiga (3G). Selain menyediakan fasilitas akses internet (e-mail, mms, dan browsing), UMTS juga menyediakan fasilitas video streaming, video conference, dan video calling*). Secara teori kecepatan akses UMTS sekitar 480kbps.
  • HSDPA (High Speed Downlink Packet Access) merupakan perkembangan akses data selanjutnya dari 3G. HSDPA sering disebut dengan generasi 3.5 (3.5G) karena HSDPA masih berjalan pada platform 3G. Secara teori kecepatan akses data HSDPA sama seperti 480kbps, tapi bisa dipastikan bahwa akses data melalui HSDPA lebih unggul daripaa UMTS.


Wednesday, October 24, 2012

Keistimewaan Bulan DzulHijjah


Kini kita telah memasuki bulan Dzulhijjah, dimana kaum muslimin melaksanakan rukun islam yang ke 5, Haji bagi yang mampu. Hal ini lah yang membuat bulan ini begitu istimewa. Disamping itu, ada beberapa hal yang membuat bulan Dzulhijjah ini begitu Istimewa bak halnya bulan suci Ramadhan, Yaitu:

       1.   Terdapat kewajiban “haji” yang merupakan amalan teristimewa

            Ibadah haji dapat dikatakan puncak dari pengalaman rohani seorang muslim karena dalam haji, seseorang juga melaksanakan ibadah-ibadah lainnya seperti sholat, puasa, zakat (berupa kurban), mengaji, berdzikir, dan sebagainya. Haji yang mabrur sama halnya dengan berjihad di jalan Allah, seperti disabdakan Rasulullah S.A.W. dalam hadits-nya:
“Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata: Rasulullah SAW ditanya: “Amal ibadah apakah yang paling utama?” Beliau bersabda: “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Dikatakan (kepadanya): “Kemudian apa?” Beliau bersabda: “Jihad di jalan Allah.” Dikatakan (kepadanya): “Kemudian apa?” Beliau bersabda: “Haji yang mabrur.” ( HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits riwayat Bukhari lainnya, dikatakan:
“Dari Aisyah Ra ia berkata, aku bertutur: ‘Ya Rasulullah kami melihat bahwasanya berjihad adalah amal ibadah yang paling utama, apakah kami (para wanita) tidak berjihad? Maka beliau bersabda: ‘Bagi kalian (kaum wanita), jihad yang paling utama adalah haji mabrur’.”
            Jadi, andaikata bagaimana bilapun –hihihi, lebaaay!!!- kita meninggal disaat menjalankan ibadah Haji karena Allah jika hajinya tergolong mabrur ia mati dalam keadaan syahid seperti orang-orang yang mati saat beperang membela agama Allah. Mabrur itu sendiri didefinisikan sebagai kondisi ketika seorang yang telah berstatus haji menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya, bersedia meninggalkan segala bid’ah yang dikerjakan masyarakat pada umumnya, dan tidak mengulangi perbuatan maksiat yang pernah dilakukannya.Status mabrur ini juga termasuk prakondisi bahwa biaya yang digunakan untuk pergi haji haruslah berasal dari usaha yang halal.

2.      Sepuluh hari pertama adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun.

Sepuluh hari pertama adalah hari-hari terbaik sepanjang tahun.maka amal baik apa saja yang dikerjakan pada masa-masa ini menjadi amal yang sangat dicintai Allah, bahkan lebih daripada jihad. Kita sudah bisa melihat dari ibadah haji yang memang jatuh pada waktu-waktu ini, kemudian puasa “Arafah” yang jatuh pada tanggal 9 Dzulhijjah, lalu ada pula hari raya Idul Adha saat para hewan kurban ‘mati syahid’ jatuh pada tanggal 10 bulan ini. Namun, ternyata bukan karena itu saja sepuluh hari pertama di bulan Dzulhijjah menjadi spesial, Imam Al Bukhari telah meriwayatkan hadits dari Ibnu Abbas r.a. dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda:
“Tidaklah ada amal yang lebih utama daripada amal-amal yang dikerjakan pada sepuluh hari Dzulhijjah ini.” Lalu para sahabat bertanya, “Tidak juga Jihad?” Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassalam menjawab,”Tidak juga Jihad, kecuali seseorang yang keluar (untuk berjihad) sambil mempertaruhkan diri (jiwa) dan hartanya,lalu kembali tanpa membawa sesuatupun.” (HR. Bukhari)
Amalan-amalan yang dianjurkan dalam hari-hari ini antara lain:
  • memperbanyak takbir, tahlil, tahmid, dan dzikir
  • memperbanyak sholat sunnah
  • berpuasa ‘Arafah
  • berqurban

3. Puasa “Arafah” yang bisa menghapus dosa dua tahun

“Puasa Arafah menghapus dosa-dosa (kecil) setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.” (HR. Muslim).
Mungkin banyak dari Anda yang sudah pernah atau bahkan sering kedenger dengan hadits di atas. Arafah merupakan tempat yang sangat penting pada musim ibadah haji, dimana di Arafah sana jamaah haji harus melakukan wukuf, yang merupakan rukun haji.
Tanpa melakukan wukuf di Arafah, maka hajinya tidak sah.
Keadaan di Arafah ini merupakan replika di Padang Mahsyar saat manusia dibangkitkan kembali dari kematiaan oelh Allah SWT. Saat itu semua manusia sama di hadapan-Nya, yang membedakan hanyalah kualitas iman.
Keistimewaan Puasa Arafah adalah:
1.      Allah SWT mengampuni dosa-dosanya selama dua tahun, tahun lalu dan yang akan datang.
2.      Allah SWT menjaganya untuk tidak berbuat dosa selama dua tahun
3.      Pembebasan dari api neraka nanti.
Adapun pada tahun pertama, maka dosa-dosanya akan diampuni.
Sebagian ulama berpendapat bahwa bila seseorang yang melakukan maksiat pada tahun itu, maka Allah SWT akan menjadikan puasa di hari Arafah yang ia lakukan di tahun lalu akan sebagai penghapus dosa, sebagaimana ia menjadi penghapus dosa di tahun sebelumnya. Sungguh besar sekali keistimewaan puasa Arafah ini.

4. “Berqurban” merupakan amalan yang paling dicintai Allah pada hari Nahr atau Idul Adha


Sabda  Rasulullah berikut ini:
“Tidak ada suatu amalan yang paling dicintai Allah dari bani Adam ketika hari raya Idul Adha selain menyembelih hewan qurban”. (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan hakim)
Beruntunglah kita yang masih bisa berqurban, baik atas nama pribadi maupun keluarga. Menyembelih hewan qurban pada hari Idul Adha adalah amal shalih yang paling utama, lebih utama dari pada sedekah yang senilai atau harga hewan qurban atau bahkan sedekah yang lebih banyak dari pada nilai hewan qurban. Karena maksud terpenting dalam berqurban adalah mendekatkan diri kepada Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Tidak ada amal yang lebih utama pada hari-hari (tasyriq) ini selain berkurban.” Para sahabat berkata, “Tidak juga jihad?” Beliau menjawab: “Tidak juga jihad. Kecuali seseorang yang keluar dari rumahnya dengan mengorbankan diri dan hartanya (di jalan Allah), lalu dia tidak kembali lagi”  (HR Bukhari).

Sedemikian agungnya syariat qurban, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Barangsiapa yang berkelapangan (harta) namun tidak mau berqurban maka jangan sekali-kali mendekati tempat shalat kami” (HR Ibnu Majah & Al-Hakim, dihasankan oleh Syaikh Albani).

Yakinlah, bagi mereka yang berqurban, Allah akan segera memberikan ganti biaya qurban yang dia keluarkan. Karena setiap pagi Allah mengutus dua malaikat. 
Malaikat yang pertama berdoa: “Ya Allah, berikanlah ganti bagi orang yang berinfak,” sedangkan malaikat yang kedua berdoa: “Ya Allah, berikanlah kehancuran bagi orang pelit yang menahan hartanya” (HR Bukhari & Muslim).

Sesungguhnya Allah
'Azza wa Jalla mensyariatkan ‘udhiyah (berkorban) sebagai sarana untuk bertaqarrub kepada-Nya dan sebagai kemurahan untuk umat manusia pada hari raya. Allah telah memerintahkan kepada bapak para Nabi, Ibrahim 'alaihis salam supaya menyembelih anaknya, Ismail. Lalu beliau menyambut perintah Allah tadi tanpa ragu. Karenanya Allah Ta’ala memberikan ganti dari langit sebagai tebusan bagi anaknya, “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Al-Shafat: 107).

Sejak saat itulah, umat manusia menyembelih hewan ternak dalam rangka melaksanakan perintah Allah dengan mengalirkan darah. Dan berkurban merupakan amal ketaatan yang sangat utama.
             
Semoga Allah berkenan untuk mempertemukan kita semua dengan bulan Dzulhijjah dan memberikan kemudahan bagi kita untuk dapat melaksanakan rangkaian ibadah pada bulan tersebut, sebagai ungkapan syukur kita atas karunia-Nya. Aamiin.

 sumber:
http://hikmahteladan.blogspot.com/2011/11/keistimewaan-puasa-arafah.html
http://egadioniputri.wordpress.com

Saturday, October 13, 2012

Jejaring sosial SalingSapa sebagai Sarana bersilaturahmi (2)


2.1.1        Fitur-Fitur SalingSapa
Pada dasarnya, fitur-fitur SalingSapa sama dengan Facebook. Hanya beberapa tambahan fitur khusus yang bernuansa islami yang menjadi ciri khas situs jejaring sosial SalingSapa.
1.      Blog (Blogs): Seperti blog pada umumnya, fitur blog di sini disediakan oleh admin sebagai tempat bagi member untuk menulis dan berbagi ceita apa pun, khusunya hal-hal yang bernuansa islami.
.

Jejaring sosial SalingSapa sebagai Sarana bersilaturahmi (1)


BAB I
PENDAHULUAN


Latar Belakang
Di era perkembangan teknologi yang keterbukaan informasi ini, selayaknya berbagai orang dapat mendapatkan informasi dengan mudah. Apalagi dengan perkembangan internet, semua hal bias didapatkan. Video, musik, gambar, bahkan apapun itu. Tidak hanya memudahkan informasi, namun dengan adanya internet ini, dunia seakan menjadi sebuah desa atau yang disebut dengan global village
.

Tuesday, October 2, 2012

Doktrin-doktrin, ciri-ciri serta tokoh aliran Asy'ariah

Doktrin Aliran Al-Asy’ariah
Dalam dakwahmya di Masjid Basrah, al-Asy’ari memfokuskan diri pada doktrin di bawah ini: Al-Qur’an adalah makhluk, melihat Allah dengan mata dan perbuatan manusia. Ini menunjukkan bahwa persoalan ini merupakan masalah yang menyibukkan pikiran yang pada kenyataanya menjauhkan Salaf dari Mutazilah. Ia berusaha untuk memadukan keduanya.

.

Perkembangan Paham Asy’ariyah


2.2 Sejarah Perkembangan Paham Asy’ariyah
            Asy-ariah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hampir sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, hingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1½ abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionalis, yang diwakili khususnya oleh Mutazilah, akan tetapi kadang juga melawan naqliyin (tekstualis) yang diwakili oleh salaf ekstrim dari kalangan Hanabilan dan Karamiah. Baru kemudian ajaran-ajaran aliran ini bisa mendominasi dan menjadi mazhab resmi negara di dunia Sunni, yang dalam rangka itu ia ditopang oleh kondisi sosial-politik.
Para imam mereka secara umum berlomba menjelaskan pendapat-pendapat aliran ini dan menyebarkan misinya di sepanjang zaman. Antar sesama mereka tidak mengalami perbedaan pendapat seperti yang melanda Mu’tazilah. Berbeda dengan paham qadariah yang dianut kaum Mutazilah dan yang menganjurkan kemerdekaan, dan kebebasan manusia dalam berpikir, kemauan dan perbuatan, pemuka-pemuka Mu’tazilah yang menggunakan kekerasan dalam menyiarkan ajaran mereka, Ajaran yang ditonjolkan menjelaskan bahwa ‘inguisisi bahwa Al-Qur’an adalah makhluk merupakan titik yang jelas-jelas mengubah sejarah kehidupan pemikiran dan akidah dalam islam, karena hal ini mengobarkan rasa benci dan marah dalam jiwa kaum muslimin dan mengukuhkan kecenderungan salaf untuk menghadapi gelombang rasionalis ekstrim.
Gerakan pemikiran bebas tersebut yang diterima oleh banyak analisis, tidak hanya di Basrah dan Bagdad saja, tetapi juga di sebagian ibukota negara islam, bahkan menggema menembus Andalusia. Al-Ma’mun seorang khlifah pada masa itu menjadikan ajaran tersebut sebagai akidah resmi negara dan menjadikan topik bahwa Al-Qur’an tidak bersifat Qadim tetapi baru dan makhluk dan menjelaskan apabila Qur’an itu Qadim maka mereka telah menduakan Tuhan. Menduakan Tuhan berarti syirik dan syirik adalah dosa besar dan tak dapat diampuni oleh tuhan.
Kaum Muislimin menghabiskan hampir setengah dalam keguncangan pemikiran, perdebatan berkelanjutan, cobaan sebagai imam dan tokoh pemikiran dimana sebagian dari mereka harus berurusan dengan penjara, disiksa bahkan dibunuh karena menentang bahwa al-Qur’an bukan makhluk dan Allah tidak memiliki sifat. Pahlawan dalam menghadapi mihnah (bencana) tersebut adalah Ahmad bin Hanbal yang tidak sudi mendukung pendapat penguasa, atau tidak sudi memegangi taqiah dalam masalah-masalah akidah, karena ia berpendapat “Jika seorang alim mengiakan taqiah, sedangkan orang bodoh dengan kebodohan, lantas kapan kebenaran akan tampak”.[3] 
Badai baru mulai reda setelah Al-Mutawakkil memegang kekuasaan pada tahun 232 H, dan mulai mengambil sikap hati-hati dan bijak. Pada tahun 237 H, ia berhasil menginstruksikan untuk menghentikan pertarungan ini. Jiwa yang berontak kini mulai tenang. Para pendukung salaf merasa bahwa pendapat mereka mendapat dukungan resmi, di samping pendapat umum. Dengan peran yang ada mereka bersikap ekstrim, melebihi Mutazilah mendukung kejumudan dan konservatif, karena mereka mereka bersikap ekstrim dalam pendapat- pendapat mereka dan memegangi makna lahir dari nas (teks-teks agama). Yang paling ekstrim diantara mereka adalah Hanabilah yang kini mempunyai pengaruh besar di Baghdad pada tahun terakhir abad ke-3 H.

Di samping kelompok Hanabilah yang amat ekstrim adalah kelompok Karamiah pengikut Muhammad bin Karam yang mengetengahkan Mu’tazilah, nampak ia tak terseret oleh ekstrimitas Mutazilah dan salaf, Ia hendak berdiri ditengah di antara kedua aliran tersebut. Sehingga dikenal dengan Al-Asy’ariah. Aliran ini ia dirikan berlandaskan pada asas perpaduan antara kaum Salaf dengan Mutazilah, Sebagai bukti, problematika sifat-sifat Tuhan dengan perpaduan nampak begitu jelas, Di satu pihak sependapat dengan kaum salaf, ia meneguhkan sifat-sifat Tuhan, sedangkan pada posisi lain, sependapt dengan kaum Mutazilah, Al-Asy’ari mengatakan bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi ia mengulang kembali apa yang telah dikatakan oleh Ibn Kilab “Tidak boleh dikatakan bahwa zat itu adalah sifat-sifat”.[4] Ini merupakan pernyataan yang kontradiksi. Al Asy’ari tidak bisa mengingkari apa yang disebut didalam Kitab Allah dan Sunnah bahwa Allah punya singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima, sejalan dengan pandangan kaum salaf atau terkadang ia takwilkan sejalan dengan kaum Mutazilah.
Al Asy’ari berusaha keras untuk menggunakan dalil naqliah dan akliah yang kokoh untuk memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita seakan ia berbeda pendapat dari kaum Mutazilah, kemudian segera menetapkan bahwa peristiwa melihat Allah tidak mengkonsekuensikan arah dan ruang, tapi hanya sekedar merupakan jenis pengetahuan dan persepsi, yang jalannya adalah mata dengan cara yang tidak biasa seperti di didunia.[5] Al Asy’ari juga mengambil sikap tengah dalam masalah sifat Kalam. Untuk itu ia menggunakan istilah kalam dalam dua pengertian : “Yang dimaksud dengan kalam adalah al-Ma’na al-Nafsi al-Qa’im bi al-Zai (pengertian kalam yang ada pada zat). Sifat ini dikaitkan kepada Allah, adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini, ini tidak diragukan lagi adalah temporal (hadisah). Dengan teori ini problematika ‘ apakah al-Qur’an adalah makhluk’ bisa dipecahkan dengan penyelesaian yang ringan dan mudah.[6]

Sependapat dengan Mutazilah, al-Asy’ari menetapkan bahwa Allah Maha Adil. Namun, sependapat dengan kaum Salaf, Al-Asy’ari menolak pandangan yang mengharuskan Allah swt untuk melakukan sesuatu, walaupun itu teori al-Salah wa al-Aslah (pandangan yang mengatakan bahwa Allah harus melakukan yang baik dan terbaik), karena Allah bebas melakukan apa yang ia kehendaki.[7] 
Akhinya Al-Asy’ari menerima teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan dan kejelekan yang ada di dalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali berdasarkan dalil naqli. Karena setiap orang walaupun dengan akalnya bisa mengetahu Allah tetapi pengetahuan ini diwajibkan kepadanya hanya atas perintah Syara.
Itu merupakan perpaduan yang mahir, walaupun tidak terlepas dari kecaman tertentu. Ia menjaga kesucian teks agama, dengan tanpa melalaikan aspek akal yang mendukung dan memperkuat akidah. Ia menghadapi titik perbedaan yang meragukan antara kaum Salaf dan Mutazilah mengenai topik Ketuhanan yang untuk ini ia mengajukan pemecahan yang bisa diterima oleh orang awam dan memuaskan tidak sedikit dari kalangan khusus, yang kemudian mulai mengakar seiring dengan perjalanan waktu, bahkan manjadi akidah yang dominan

________________________
[3] Al-Maqrizi, Al Khata, (Kairo, 1939), hlm.132
            [4] Al-Syahrastani, Al milal, hlm. 67
            [5] ibid, hlm.72 
            [6] ibid, hlm. 68

source: makalah agama-akidah gue. :)

                


Pemahaman akidah Abu Al Hasan Al Asy'ari


2.1 Abu Al Hasan Al Asy’ari
Asy`ariah adalah sebuah paham akidah yang dikembangkan oleh Abul Hasan Al-Asy`ari. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari. Nama aliran Asy’ariah sendiri dinisbahkan dari nama Abu Hasan Al-Asy’ariy itu sendiri.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad.
Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Muktazilah. Hal itu menjadikan Al Asy’ari paham akan seluk-beluk segala permasalahan kalam. Atas didikan Al-Jubba’i,  Al-Asy’ari kemudian menjadi toko Muktazillah. Ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Muktazillah. Selain itu ia banyak menulis buku yang membela alirannya.
Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi Ahli Sunnah pada usia 40 tahun. Setelah itu tiba-tiba ia mengumumkan di hadapan jama’ah masjid Bashroh bahwa dirinya telah meninggalkan paham Muktazilah dan menunjukkan keburukan-keburukannya. Menurut al-subki dan ibn asakir, hal yang melatarbelakangi keluarnya Al-Asy’ari dari paham Muktazilah bahwa disebutkan pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Al-Asy’ari, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.”
Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.[1]
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2.1.1 Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah.
a.    Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode Kedua
Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:


•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)


Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode Ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.
Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya. Beliau tidak melakukan:
·      Takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
·      Ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
·      Tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
·      Tahrif: menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya.[2] 

___________________
[1] http://aftanet.blogspot.com/2011/06/sejarah-munculnya-aliran-asariyah-dan.html, (diakses 29 september 2012)
[2] Rudi Arlan, ilmu kalam, (Bandung, 2009)


source: makalah agama-akidah gue. :)

baca juga : Perkembangan Aliran Asy'ariah
                 Doktrin-doktrin, ciri-ciri serta tokoh aliran Asy'ariah